Hukum Monogami dan Poligami

Hukum Monogami dan Poligami

Hukum Monogami dan Poligami
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat    besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan.. Namun, sebagian yang lain menyetujui dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.
Kenyataannya poligami sekarang  ini banyak dipraktikkan oleh kalangan public figure kita. Sebut saja misalnya mantan wakil presiden RI, Hamzah Haz, yang memiliki isteri tiga orang, Puspo Wardoyo (pengusaha terkenal) yang memiliki isteri empat orang, Qomar (seorang komedian) yang juga memiliki empat orang isteri, KH. Nur Muhammad Iskandar, SQ. (Kiai pengasuh PP. Ash Shiddiqiyah Jakarta) yang memiliki tiga orang isteri, Mamik Slamet, PartoP atrio, dan masih banyak lagi yang lain. Mereka dengan terus terang menyatakan bahwa mereka telah mempraktikkan poligami. Ada juga di antara masyarakat kita yang mempraktikkan poligami  dengan sembunyi-sembunyi karena alasan-alasan tertentu.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan ini adalah :
1.      Apakah konsep poligami dan monogami ?
2.      Apa saja tujuan pernikahan poligami ?
3.      Apa saja sisi positif-negatif pernikahan poligami dan monogami ?
4.   Bagaimana pandangan islam tentang monogami dan poligami ?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui tentang konsep poligami dan monogami
2.      Mengetahui tentang tujuan pernikahan poligami
3.      Mengetahui tentang sisi positif-negatif pernikahan poligami dan monogami
4.      Mengetahui tentang pandangan islam tentang monogamy dan poligami

BAB II
PEMBAHASAN
     
A.    KONSEP POLIGAMI DAN MONOGAMI
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak  (Nasution, 1996: 84).Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan[1]. Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri.Namun dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri.Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.
Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS.al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:
وإن خفتم الا تقسطوا في اليتامي فانكحوا ما طاب لكم من النّساء مثني وثلاث ورباع ........................
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuanyatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapatberlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam sejarah  dan Nabi Muhammad Saw. melarang melakukan poligami lebih dari empat isteri   (al-Syaukani, 1973, I: 420)
       Masalah poligami ini dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada pasal 55:
1.   Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya pada 4 oarang istri.
2.   Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3.   Apabila syarat utama yang disebutkan pada pasal (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan:
1.    Suami yang hendak beristri lebih dari 1 orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2.    Perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
       Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan pada pasal sebelumnya, yaitu:
1.   Adanya persetujuan istri
2.   Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.[2]


B.     TUJUAN PERNIKAHAN POLIGAMI

Terlepas dengan aturan-aturan mengenai poligami, terselip tujuan diizinkannya poligami dalam kedaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
1.   Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
2.   Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak mampu menjalankan tuganya sebagai istri, atau ia mendapat cacat, penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.   Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
4.    Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negeri yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya..
Mengenai tujuan Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
1.   Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri nabi sebanyak Sembilan orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktik kehidupannya dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kerumahtanggaan.
2.  Untuk kepentingan politik mmempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam.
3.  Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan.
       Jelaslah, bahwa pernikahan Nabi dengan Sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi akan meikahi gadis-gadis gari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataanya adalah Nabi pada usia 25 tahun menikah dengan Khadijah seorang janda umur 40 tahun.
       Setelah Khadijah  wafat tahun ke 10 sejak Nabi Muhammad menjadi nabi, pada  usia sekitar 65 tahun, barulah Nabi memikirkan menikah lagi. Mula-mula menikah dengan Saaudah binti Zum’ah, kemudian Aisyah, dan disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak ada seorang istrinya yang dinikahi dengan motif untuk pemuasan nafsu seks.[3]  

C.    SISI POSITIF - NEGATIF PERNIKAHAN  POLIGAMI DAN MONOGAMI
Poligami memiliki beberapa dampak khususnya terhadap perempuan Indonesia. Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:
    Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

   Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
   Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
    Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat dampak negatif poligami, di antaranya:
1.    Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri
2.   Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.
3.    Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
4.   Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.[4]
Selain itu dampaknya bisa terjadi terhadap sang anak, dimana sang anak akan menjadi kurangnya perhatian dan sang anak juga akan merasa terasing karena dengan adanya sang ibu kedua. Tapi hal tersebut tidak bertahan lama, karena tahap demi tahap sang anak akan menerimanya dan akan menjadi terbiasa.
Sedangkan dari sisi Monogami tidak terlalu banyak dampak yang di sebabkan.Karena Monogami tersendiri hampir seluruh pasangan yang melakukan Monogami, tapi jika di singgung dengan hal-hal diatas yang berkaitan Monogami bisa juga menyebabkan terjadinya perselingkuhan dan Nikah Siri.Menurut saya hal itu bisa disebabkan jika Salah seorang pasangan sudah agak jenuh atau ingin mempunyai keturunan tapi tidak di beri izin oleh pasangannya maka Perselingkuhan bisa saja terjadi dalam praktik Monogami.[5]
Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :
a.       Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.
b.       Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
c.       Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.[6]

D.       PANDANGAN ISLAM TENTANG POLIGAMI DAN MONOGAMI

Allah Swt. Maha Bijaksana ketika menetapkan aturan poligami, sehingga tidak ada kesalahan dan cela.Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi laki-laki, sebagaimana tidak pula diwajibkan bagi perempuan dan keluarganya untuk menerima perkawinan dari laki-laki yang sudah beristeri.Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia.Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia.Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami.Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan.Karena itulah, Islam memberikan aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat terwujud kemaslahatan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun dasar pijakan mereka adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat dalam al-Quran, yaitu QS.al-Nisa’ (4):3 seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada’.Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka  (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatar belakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta anak yatim.Maka jika sudah khawatir kepada anak yatim, mestinya juga khawatir terhadap perempuan.Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang.Sebaliknya, jika ada kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cukup menikahi seorang isteri saja (al-Thabari, 1978: 155).
Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari mengatakan, kata wa dalam ayat matsna wa tsulatsa wa ruba’ berfungsi sebagai penjumlahan (li al-jam’i). Karena itu, menurutnya, perempuan yang boleh dinikahi oleh laki-laki yang bisa berbuat adil bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan (al-Zamakhsyari, 1966, I: 496). Ketika menjelaskan makna ayat 129 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi: ”Dankamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamusangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamucintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim (al-Zamakhsyari, 1966, I: 568). Ketika membahas kata aw mamalakat aimanukum al Zamakhsyari mengatakan bahwa untuk halalnya hubungan seorang tuan dengan budaknya, maka harus dinikahi terlebih dahulu.
Al-Qurthubi sepakat dengan al-Zamakhsyari dalam hal menikahi budak yang akan digauli oleh tuannya. Namun al-Qurthubi berbeda dengan al-Zamakhsyari dalam memahami jumlah maksimal perempuan yang dijadikan isteri dalam berpoligami. Al- Qurthubi sepakat dengan apa yang ditegaskan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh sahabat untuk menyisakan isterinya maksimal empat orang. Dengan demikian, menurut al-Qurthubi jumlah maksimal isteri bagi suami yang berpoligami adalah empat orang             (al-Qurthubi, 1967: 17).
Al-Syaukani menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat al-Nisa’: 3 berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam. Di antara kebiasaan mereka adalah para wali yang ingin menikahi anak yatim tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama antara yang perempuan yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi perempuan yang non-yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika tidak dapat berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum (al-Syaukani, 1973: 420). Ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum al-Syaukani menyatakan, untuk menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak disamakan dengan harta milik.
Dalam menafsirkan QS.al-Nisa’: 129, sebagaimana umumnya para ahli tafsir, al- Syaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang nonmateri. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus ada upaya maksimal dari seorang suami untuk dapat berbuat adil kepada para isterinya ketika berpoligami     (al-Syaukani, 1973: 521).
Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat.Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan.Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamunala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat).Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut al- Maraghi, adalah 1) karena isteri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak; dan 4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat perang juga membolehkan dilakukannya poligami (al -Maraghi, 1969, IV: 181-182). Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika tujuannya untuk pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan-perempuan cantik dan yang masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi semuanya janda kecuali ‘Aisyah.Terkait dengan QS.al-Nisa’: 129 al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal untuk berbuat adil. Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu yang harus dilakukan (al-Maraghi, 1969, V: 173).
Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshat.Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak.Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri.Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam.Bagi suami yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup seorang isteri saja  (Sayyid Qutub, 1966, IV: 236). Ameer Ali juga berpendapat sama seperti Sayyid Qutub  (Ali, 1922: 229). Sedang Fazlur Rahman mengatakan, kebolehan poligami merupakan satu pengecualian karena keadaan tertentu.Sebab kenyataannya, kebolehan itu muncul ketika terjadi perang yang mengakibatkan banyaknya anak yatim dan janda  (Nasution, 1996: 101).Muhammad Abduh bahkan berkesimpulan bahwa poligami tidak diperbolehkan (haram).Poligami hanya mungkin dilakukan seorang suami dalam keadaan tertentu, misalnya ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan.Dengan mengutip QS.al-Nisa’(4): 3, Abduh mencatat, Islam memang membolehkan poligami tetapi dituntut dengan keharusan mampu meladeni isteri dengan adil. Abduh akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pada prinsipnya pernikahan dalam Islam itu monogami (Nasution, 1996: 103).Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan gurunya, Muhammad Abduh, mengenai haramnya berpoligami, jika suami tidak mampu berbuat adil kepada isteri-isterinya (Nasution, 1996: 104). Sementara itu Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang dapat mendorong dilakukannya poligami, yakni:
1)   memecahkan problema keluarga, seperti isteri mandul, terdapat cacat fisik, dan isteri menderita sakit yang berkepanjangan;
2)    memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu yang lama dan sulit disertai oleh isterinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena sebab lain;
3)    hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang tidak ada yang memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-anak yatim, atau sebab-sebab lainnya; dan
4)     ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan kuat ekonominya.
Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ditambah persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya, dan mampu memelihara isteri-isteridan anak-anaknya dengan baik (Abu Syuqqah, 1997, 5: 388).Itulah beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi.Ada yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat.Di antara mereka juga ada yang menegaskan bahwa dibolehkannya poligami hanya dalam keadaan darurat saja.Mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi dalam berpoligami ada yang membatasinya empat orang dan ada yang membatasinya sembilan orang.Dari variasi pendapat mereka tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang.Mereka tidak berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang memang tidak pernah melarangnya.Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama klasik dalam menetapkan hukum.
Dalam undang-undang modern yang diberlakukan di negara-negara Islam, ketentuan poligami masih bervariasi.Ada yang memberikan ketentuan yang longgar dan ada yang memberikan ketentuan yang sangat ketat hingga mengharamkannya.Indonesia termasuk negara yang menetapkan ketentuan yang ketat untuk poligami.Dalam UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapat izin dari pengadilan.
Adapun alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untuk memberi izin poligami ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu:
1)     isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2)     isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
3)     isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan seperti ini juga ditegaskan dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57.
Pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut:
1)      adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2)      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3)      adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
          Di samping ketentuan ini UU Perkawinan juga mengatur prosedur yang harus ditempuh suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses di pengadilan. Mesir dan Pakistan, dua negara Islam, juga mengatur masalah poligami dalam undang-undangnya.Aturan poligami dalam undangundang di dua negara ini juga cukup ketat (Marzuki, 1996: 175-177).Dengan demikian, pada prinsipnya hukum Islam membolehkan adanya poligami dengan berbagai persyaratan yang cukup ketat.Disyariatkannya poligami, seperti ketentuan hukum Islam lainnya, juga untuk kemaslahatan umat manusia.
 Dari sinilah harus disadari bahwa siapa pun boleh melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun, jika ia tidak dapat mewujudkan kemaslahatan itu ketika melakukan poligami, maka poligami tidak boleh ia lakukan. Persyaratan yang ditentukan oleh al- Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami.Hal ini hanya bisa terwujud jika poligami dilakukan oleh pihak laki-laki (suami) dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh pihak wanita (isteri).

DASAR HUKUM POLIGAMI
a.  Firman Alloh surat An-Nisa’ ayat 3 :
:وإن خفتم الا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم الا تعدلوا فواحدة او مالكت أيمانكم ذلك  أدنى الا تعولوا
 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[7]
b. Hadits Nabi :
H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah RA dari Qais bin al-Haris:   
 عن قيس بن الحارث قال أسلمت  وعندي ثمان نسوة فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت ذلك له فقال اختر منهن أربعا رواه أبو داود وابن ماجة
Artinya:
        Dari Qais bin al-Haris berkata  bahwa saya telah masuk Islam dan saya memiliki 8 (delapan) isteri, lalu saya  datang kepada Rasulullah SAW  lalu saya  sebutkan kepadanya  tentang hali itu maka Rasuluallah menyuruhku untuk memilih  4 (empat) isteri saja.[8]  
H.R Ahmad dan Turmuzi RA:

عن ابن عمر قال أسلم غيلان الثقفي وتحته عشرة نسوة في الجاهلية  فأسلمن معه فأمره النبي صلي الله عليه وسلم أن يختار منهن أربعا رواه أحمد والترمذي
Artinya:
        Dari Ibnu Umar RA ia berkata  bahwa telah masuk Islam  Qhailan as-Saqafi dan dia memeliki 10 (10) isteri pada masa Jahiliyah dan mereka semua masuk Islam bersama  dengannya, maka Rasulullah SAW  menyuruhnya untuk memilih 4 (empat) saja. [9]
 عن عبد الله ابن أبي مليكة أن المسور بن مخرمة حدثه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر يقول: ان بني هشام بن المغيرة استأذنوا أن ينكحوا ابنتهم من علي ابن أبي طالب فلا أذن لهم ثم لا أذن لهم ثم لا أذن لهم الا ان يريد  ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي  وينكح ابنتهم, فانما  ابنتي بضعة مني, يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها.  رواه مسلم
Artinya:
         Beberapa keluarga  Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Talib RA. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, aku tidak akan mengizinkan,dan  aku tidak akan mengizin, kankecuali Ali bin Abi Talib menceraikan putriku,kupersilahkan ia mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian  dari diriku apa yang menyakiti hatinya adala menyk itiku juga[10].
Poligami Bukan Larangan.
        Di dalam hukum Islam poligami sebagai mana telah penulis uraikan di atas jelas hukumnya, yaitu mubah atau dengan kata lain boleh, jika memenuhi keriteria dan syarat-syaratnya.  Karena itu sebagai sesama umat Islam janganlah  menghilankan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.. Menghilangkan hukum yang dasar dan dalil tentang kebolehannya sudah  jelas itu termasuk dhalim Hal ini seperti diungkapkan oleh Ust Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar di dalam bukunya: Nahwa Saqafah Islamiyah  Asilatan:

تحريم التعدد ظلم للأمة وظلم للرجال. إن منع الرجل  من الزوجة الثانية ظلم للرجل  لأن طبيعته الجنسية  لا يعرض لها ما يعرض لطبيعة المرأة  وظلم ثامية  لأنه قادر على الإنجاب  فى الحال التي لا يمكن  للمرأة  أن تجتنب فيها وظلم للأمة التي تحرم من الإكثارمن النسل بسبب منع التعدد مع كون أحد الطرفين صالحا للإنجاب وإمداد الأمة  بمزيد من الذرية
Artinya:
          Mengharamkan poligami adalah mengdhalimi umat dan kaum laki-laki. Sesungguhnya mlarang  kaum laki-laki untuk menikah dengan isteri ke dua  adalah karena  naluri  sek laki-laki itu tidak terhalang sebagaima naluri kaum perempuan. Ini dhalim yang pertama dan dhalim yang kedua adalah karena kaum laki-laki  memiliki kemampuan  untuk melahirkan keturunan  kapan saja yang tidak munkin bagi kaum perempuan dan juga dhalim bagi umat di mana  mereka terhalang untuk  memperbanyak generasi  keturunan  karena disebabkan  adanya larangan poligami [11]

BAB III
KESIMPULAN
            Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat diambil disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.   Menurut hukum Islam  poligami hukumnya boleh, jika dilakukan dalam keadaan dharurat dan telah memenuhi syarat-syarat, yaitu mampu berlaku adil diantara sesama isteri,  anak-anaknya dan mempunyai kemampuan  biaya.
2.   Poligami diperbolehkan jika mendatangkan maslahat/ manfaat bagi si pelaku poligami dan isteri dan anak-anak isteri yang dipoligami.
3.   Poligami diperbolehkan jika dilakukan dengan alasan-alasan yang benar dan sesuai menurut ketentuan hujum Islam dan perundang-undangan yang berlaku.
4.         Jika poligami tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, sehingga meng akibatkan keluarga menjadi berantakan maka  poligami haram hukumnya


[1] Dinas Pendidikan dan kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, tahun 2001. hal 885 
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 21-22
[3] ibid
[4] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 161
[7] Departemen Agama RI. Al Qur’an Terjemah QS An-Nisa’ (4): 3. 2012.
[8] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy.  Sunan Ibnu Majah,  Jilid I, (Bairut:  Dar al-Fikr, 1995), hal. 612
[9] Muhammad bin Isa al-Turnuzy,  Sunan al-Turmuzy, (Qahirah: Misriyah, 1931),
[10] Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairy  an-Naisabury.  Sha hih Muslim, Juz:4, (Bairut: Libanon, Dar al-Kitub al-Ilmiyah, 1992), hal: 1902.
[11] Ust Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar,  Nahwa Saqafah Islamiyah  Asilatan, Cet. Ke 12 (al-Urdun, Dadun Nafa’is, 2002), hal. 152 - 153

Postingan populer dari blog ini

Tips menjawab 18 pertanyaan tersulit wawancara pekerjaan

PANCASILA LAMBANG NKRI